SECANGKIR KOPI TUBRUK BERAROMA RINDU~ prosa pendek

Secangkir Kopi Tubruk Beraroma Rindu~

Aku dan kamu, kita...
Kita pernah sedekat jemari dan jendela saat rintik hujan. Menyusun romantisme dua insan yang berjauhan, namun terikat rasa dan harapan, tanpa kepastian. Meracik ribuan rempah kisah, hangat tertuang dalam secangkir kopi tubruk beraroma rindu yang tak pernah habis kita reguk.
Aku yang menuang airnya bersama hati yang penuh, dan kau mengaduknya dengan kasih yang utuh. Begitu cara kita saling melengkapi. Menikmati kopi rindu pagi hari.

Namun kemudian, hangatnya semakin berkurang di jam berikutnya. Tetapi tidak dengan aroma rindu. Ia masih tetap tinggal membersamai setiap tegukan, halus menyusupi rongga hidung sampai pada muara hati yang terkatung, menunggu dan mematung.
Kerap kali kita menikmatinya berdua. Iya, berdua saja. Bersama beberapa potong roti atau bakwan jagung kesukaanmu jika kau mau.
Dengan sepenuh hati kusunggingkan senyum. Dan seperti biasa kusuguhkan kopi tubruk pagi hari untuk temani semangat pagimu. Terkadang kau juga memintanya sore hari, mungkin sekedar pengantar untuk melepas semua keresahanmu seharian tadi. Atau bahkan di tengah malam, kubuatkan spesial dengan mantel hangat dan suguhan camilan untuk temani Arsenal kesayanganmu berlaga malam itu. Kau tampak selalu menikmatinya. Entah iya, atau berpura. Entah.

Kutawarkan padamu kopi tubruk beraroma rindu dengan lengkung simetris di wajah. Perlahan kau menyeruputnya diikuti pejaman matamu yang tak lama kembali terbuka bersama dengan senyuman yang menampakkan gigi-gigimu, juga sedikit desahan napas pertanda nikmat. Tak terkira bahagiaku. Bagaimana? Cukup manis bukan? Ya, tentu saja. Karena selalu aku yang lebih dulu mereguk pahitnya. Bahkan jika kau minta, kuhabiskan pula ampasnya. Tapi sungguh itu tak mengapa. Demi menikmati secangkir kopi bersamamu dan kau bahagia karenanya, semua itu tak mengapa. Kunikmati pahitnya, biar.

Kulihat hari ini kau berbeda. Tak seperti penikmat kopiku biasanya. Sedikit pun kau tak mereguknya. Hanya aroma rindu yang sesekali kau hirup dengan pejaman mata, lalu kau buka kembali tanpa sunggingan senyum yang memesona. Kenapa? Ada apa? Apa karena aku yang mulai kehabisan gula? Atau karena hangatnya yang berkurang sehingga kau tak lepas menikmati aroma rindu pada kepulan asapnya?
Katakan! Kau bebas menjadi apapun yang kau mau. Kau boleh menjadi seniman. Seniman 1000 wajah bahagia. Seniman muka tebal. Jika kau mau, tak mengapa pula kuantarkan kau ke penjual buku. Kau bisa tawarkan buku hasil karyamu. Buku kepalsuan tentangmu. Kepalsuan kesedihan. Kita mungkin tak seabadi Romeo dan Juliet, tidak pula sekuat romantisme Arjuna dan Srikandi. Kita hanya penikmat kopi. Secangkir kopi tubruk beraroma rindu. Hanya itu.

Aku tak pahami putusanmu yang enggan mereguknya. Jika kau berpikir tak ingin merepotkanku membeli gula, kau salah. Bahkan aku rela jika harus berhutang pada pabriknya. Asal kau mau kembali mereguknya. Menikmati secangkir kopi kita, hingga saat kita menua bersama.
Karena aroma rindunya tak akan pernah pergi, ia tetap tinggal disini membersamai hari-hari yang kita kan lalui. Namun sungguh tak kutemui rupamu hari ini. Kemana engkau pergi? Bila saja kau adalah secangkir kopi, aku ingin memesanmu malam ini.

Komentar

Postingan Populer