PEMILIK MATA TEDUH - cerpen

Pemilik Mata Teduh~
Diam. Aku terpaku dikeramaian. Hilir mudik orang-orang yang berlalu lalang sebagaimana hendak berlangsungnya acara besar. Nampak sekali rona-rona bahagia menghiasi wajah mereka, keluarga besarku. Ibuku hadir saat itu, padahal sudah hampir tujuh tahun lamanya ibu berlalu meninggalkanku. Aku sangat merindumu, Bu.
Aku masih terdiam. "Ka, bersiaplah. Ganti pakaianmu, sebentar lagi calonmu datang!" Satu dari sekian anggota keluargaku menepuk bahuku, membuyarkan lamunanku yang terlalu asik memandangi Ibu, lama kami tiada temu. Hatiku bergumam, Ha? Calon? Ah iya, perjodohan itu. Baiklah. Aku segera berganti pakaian lantas duduk disamping Ibu. Aroma masakan khas tatar sunda semakin menyeruak melingkupi seluruh penjuru ruangan, membuat semua orang yang mencium baunya ingin membawa piring segera. Namun aroma sedap itu sama sekali tak mnggoda perutku. Bagaimana tidak, hatiku sedang tak karuan karena akan datangnya seseorang. Terlebih ia datang untuk menemuiku.
"Assalamu'alaikum warahmatullah..." Deg. Suara lembut baru saja menyapu telingaku. Aku gemetar seketika, lantas mengatur napas menyembunyikannya. Hangat sekali keluargaku menyambutnya, begitu akrab, seperti sudah saling mengenal sejak lama. Namun tetap begitu asing bagiku. Ia bercakap bersama ayah, entah apa yang dibicarakan. Sesekali aku melirik, melihat garis wajahnya dari samping, badannya yang tegap masih lengkap dengan pakaian yang menunjukkan profesi mulianya, sangat berwibawa. Sepatah katapun ia tak menyapaku. Hanya sekali menoleh dengan lemparan senyum rupawan yang membuatku kikuk menunduk malu. Betapa ia menjaga pandangannya. "Itu?" Aku bertanya pada sepupu ibuku sembari mencoleknya. "Iya" katanya sambil tersenyum mengejekku. "Dia dokter spesialis bedah, masih muda dan punya beberapa bisnis ringan yang masih perlu dikembangkan" bisiknya melanjutkan. Aku hanya mengangguk kagum. Masyaallah...
Aku tak tahu sejauh mana pembicaraan Ayah dengan dokter muda itu. Nampak sangat akrab, sesekali diselingi tawa renyah, santun dan ramah ucapannya kudengar. Beberapa kali Ayah menepuk-nepuk pundaknya seperti menunjukkan rasa bangga. Sementara aku masih saja terdiam dengan hati tak karuan, entah menunggu apa.
Selang tak berapa lama, seketika semua wajah berubah menunjukkan sinarnya, sinar yang bahagia dan terkejut. Hatiku semakin tak karuan. Ada apa ini? Seseorang mengabariku bahwa akan berlangsung pernikahan sore ini juga. Sontak tubuhku lemas. Allah.. Masyaa Allah seyakin itukah dia? Secepat inikah? Ahh mantap sekali keputusannya. Bahkan ia tak memberiku kesempatan waktu untuk mempertimbangkan. Sepatah katapun aku tak mampu menolak. Menggenang sudah cairan hangat dipelupuk mata. Aku tak siap. Betapapun hatiku masih sangat terlampau berat pada seseorang dikejauhan sana yang lebih dulu menaruh harapnya. Seseorang yang menyita perhatianku, menguras seluruh rinduku. Seseorang yang hingga kini tak kunjung menemui aku dan orangtuaku, bahkan untuk sekedar bersilaturahmi sekalipun. Sedang pemuda yang mengagumkan ini tengah datang tanpa banyak kata untuk ta'aruf, tak lama kemudian mengkhitbah dan hendak melangsungkan pernikahan sore ini juga, menyegerakan hidup bersamaku dalam ikatan halal. Allah... Sungguh ini beraaat, namun tak kuasa pula aku menolak. Tak ingin mengecewakan mereka.
Tak terelakan, pernikahan pun telah berlangsung. Resepsi digelar sederhana yang hanya dihadiri tetangga dan keluarga. Kami, aku dengannya, duduk berdampingan diatas kursi. Kaku. Sembari menunggu orang-orang yang memberi selamat dan menyalami sambil mendo'akan. Wajahku sepertinya tak menunjukkan rona yang serupa dengannya. Aku masih melayang tak percaya, tak berdaya. Aku lupa siapa nama lengkapnya, yang jelas pada nama akhirnya terdapat titel yang khas milik kebangsaan China. Mungkin dia keturunan China. Aku menolehnya, dia menatapku dalam. Tatapan yang teduh dari balik kacamatanya menyelimuti tubuhku. Melelehkan kekakuan qolbu. Ia memanahku dengan senyum rupawan yang menyejukkan. MasyaaAllah... Halalkah ini? "Ah..." Aku menunduk. Sangat kaku. Perlahan jemarinya menyelinap, lembut melengkapi sela jemariku menenangkan. Aku masih saja kikuk dan kaku. Akan memanggilnya apa aku nanti? Kak? Mas? A? Dok? Ah mungkin Mas saja.
"A Dimas, ayo makan dulu. Diajak ya istrinya" ajak saudaraku dengan senyum bahagia. Hmm rupanya keluargaku sudah lebih dulu akrab dengan memanggilnya A Dimas. Baiklah.
Aku masih tak percaya, masih saja merindu seseorang yang jauh disana. Baiknya kulenyapkan ia segera. Bagaimanapun, mulai hari ini kedepan, mungkin aku tak lagi banyak menggugu Ayah dan Ibu, tetapi padanya, pemilik mata teduh itu, padanyalah aku bertuan, seorang imam, panutan yang menyempurnakan separuh diin-ku. Namun sungguh, kerinduanku pada Ibu masih jauh lebih besar daripada keinginan untuk hidup bersamanya. Maka malam ini, Bu, biar aku tidur lelap denganmu saja. Kamis, 20 Oktober 2016.
*hidup berawal dari mimpi. Cerpen ini bermula dari mimpi ane tadi malem. Mimpi yang kurang ajar wkwk. Bikin baper dan penasaran. Masalahnya sosok pemilik mata teduh itu belum pernah kutemui didunia nyata. Kalaupun ada dan bertemu, mungkin tak butuh waktu lama untuk mengaguminya. Wkwk salam literasi

Komentar

Postingan Populer